2 Juli 2014

Gadis Jeruk - Jostein Gaarder

Untuk Georg, sahabat baruku

Aku telah membaca cerita sedih dari ayahmu -Jan Olav- tentang gadis jeruk cinta sejatinya itu. Dan malam ini aku mencoba menulis surat untukmu, setidaknya itu yang bisa kulakukan untuk mencurahkan segala pikiran yang berkecamuk dalam kepalaku-setelah aku selesai membaca surat dari ayahmu itu tentunya. Setidaknya aku jadi tahu bagaimana perasaan yang kau alami setelah membaca surat dari orang yang bahkan kau lupa bagaimana tangannya dulu pernah memelukmu dengan erat, sebelas tahun bukan waktu yang sebentar Georg. Sekedar untuk kau ketahui bahwa aku menulis surat ini dengan alunan Beethoven-Moonlight Sonata, dan sepertinya aku setuju denganmu kalau musiknya menceritakan kisah yang sedih, walaupun nada-nada dibelakangnya sedikit cepat yang biasanya cepat identik dengan ceria. Ini tidak termasuk, Georg.

Jan Olav, entah bagaimana aku kagum dan merasa mengenal dia. Ya, dia orang yang terbuka mengenai dirinya sendiri. Yang paling aku suka tentang sosok ayahmu itu mengenai pemikirannya bahwa dunia, maksudku hidup ini merupakan sebuah dongeng. Kita lahir, menjadi anak-anak, remaja, dewasa, kemudian meninggal, atau barangkali beberapa tak sempat merasakan fase-fase itu secara lengkap. Tapi setidaknya kita melalui proses lahir lalu hilang. Sesederhana itu Georg, secepat itu. Ayahmu juga mengatakan bahwa kita harus mengikuti aturan dalam dongeng ini, seperti dia yang mengikuti aturan untuk sabar menanti gadis jeruknya selama enam bulan. Aku memikirkan perkataan ayahmu ini semalaman Georg, dan aku sampai pada kesimpulan bahwa hidup ini memang penuh aturan. Aku harus mengikuti aturan seumur hidupku, aturan makan, aturan berbicara, aturan berpakaian, semua telah ada yang mengatur Georg, dan lucunya aku pun tak tahu darimana aturan-aturan itu muncul, maksudku tiba-tiba hal itu ada.

Untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ayahmu Georg, aku pun terbelalak menatap semua yang mampu ditangkap inderaku. Kemarin malam aku memandang bulan, dan aku dipusingkan oleh dimanakan letakku saat itu, saat bulan sabit. Apa yang menutupi sebagian bulan yang semestinya utuh itu dan apakah aku sedang berapa dibagian bawah bumi? Maksudku, bumi berotasi dan berovulsi, dan kapan kiranya aku dan sekelilingku tepat berapa terjungkir kebawah, dan lucunya lagi aku tak pernah jatuh terpental ke luar angkasa. Aku bahkan tak tahu gaya gravitasi itu seperti apa bentuknya. Kemarin sore, saat menyapu halaman depan rumah, aku tertegun melihat daun-daun menguning dan jatuh, hampir setiap hari dan aku bahkan tak tahu kapan kiranya daun itu tumbuh kemudian mendadak dia telah jatuh ke tanah. Alam semesta ini Georg, terlalu besar untuk aku pahami. Banyak hal terlewat begitu saja tanpa pernah aku pertanyakan mengapa. 

Masalah waktu, apa itu waktu Georg?
Aku pun tak tahu harus menjawab apa jika ditanya seperti itu. Aku telah memikirkannya seharian ini. Menurutku sangat tidak adil mengatakan waktu hanyalah sebuah moment yang dikerangkeng dalam detik-menit dan jam, dan ada lagi istilah seminggu, sebulan, setahun.  Hanya itu kah? Lalu sebelum gagasan akan waktu itu ada, apakah waktu itu sendiri?

Hidup ini singkat, Georg teman baikku. Aku pun pernah sekali waktu memikirkan itu. Bahwa suatu hari aku bangun dengan kenyataan bahwa hidupku akan bertahan hanya beberapa hari saja. Membayangkan aku akan meninggalkan semua hal yang ku kenal di bumi ini sungguh sedih, dan membayangkan kemana sesuatu dalam tubuh ini -yang kemudian sering disebut jiwa- pergi adalah hal yang jauh tak dapat aku bayangkan. Dalam imajinasiku pun. Sesekali dalam malam-malam panjang, aku memikirkan bagaimana sesosok aku tiba-tiba harus diambil oleh tangan-tangan ghaib sang penciptaku, lalu perlahan aku mulai dilupakan, orang akan melupakan bagaimana bentuk badanku, cara berjalan, cara mengomelku, dan malam-malam itu menjadi panjang buatku. Tapi aku pun sepakat bahwa jika sebelum diturunkannya tubuh ini ke bumi, aku pun akan menjawab "IYA" untuk sebuah tour singkat di bumi. Akan banyak yang terlewat jika aku memilih tidak untuk menghindari sebuah perpisahan yang menyakitkan. Lalu, aku akan banyak kehilangan moment kagum pada segala lekuk yang ada di dunia ini. Bukankah kita ini seorang penikmat, Georg? dan seperti kata ayahmu: "jika kamu memilih untuk hadir pada tempat tertentu di dunia ini, kamu juga harus meninggalkannya lagi suatu hari dan pergi meninggalkan segalanya".

Salam hangat untukmu, Georg.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© SEPATAH KATA
Maira Gall