11 Mei 2014

Review: Bukan Pasar Malam

Sebuah novel dari Pramoedya Ananta Toer. Novel pertama karangan Pram yang baru saya baca sekitar tiga minggu yang lalu. Tak lama menghabiskan novel setebal seratus empat halaman ini, kira - kira menghabiskan waktu dua hari.

"dan di dunia ini, manusia bukan berduyun - duyun lahir di dunia dan berduyun - duyun pula kembali pulang...seperti dunia dalam pasarmalam...Seorang-seorang mereka datang. Seorang - seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas - cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana..."

Tokoh aku disini kaget mendengar kabar bahwa bapaknya tengah sakit keras. Peperangan telah memisahkan dua sedarah ini, yang satu sibuk mengisi pundi - pundi dompet, yang satu berjuang membuka pintu generasi belia. Nasionalis, itulah bapak, setidaknya kata seorang kawan. Dia yang setia memperjuangkan kemerdekaan dengan segala tipu muslihatnya, semasa sehat. Bapak yang kemudia muak melihat petinggi - petinggi memaknai kemerdekaan dengan saling berebut gedung dan kursi, di ibukota. Bapak memilih teguh menjadi guru, yang dianggap satu - satunya jalan yang dibutuhkan bangsa ini setelah merdeka. Lalu ketika bapak sakit keras, keputusannya untuk menjauhkan diri dari jabatan membuatnya menderita hingga ajal menjemputnya. Ah iya, bukankah untuk masuk rumah sakit dengan perawatan dan dokter profesional membutuhkan setidaknya jabatan atau uang sebagai pelancar perawatan.
Sebenarnya semenjak duduk di bangku SMA saya telah melirik buku - buku Pram, tapi baru kali ini kesampaian untuk menghatamkan karyanya. Tidak seperti bayangan saya, Pram disini menulis dengan gaya bahasa yang menurut saya mudah dipahami. Tulisannya banyak menyadarkan saya mengenai kekacauan yang ada di negeri ini.

Selamat Membaca!

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© SEPATAH KATA
Maira Gall