14 Januari 2020

Realita Hamil Duluan dari Dua Garis Biru



Akhir 2019, kurang piknik dan hidup cuma kerja-pulang-rebahan-kerja-pulang-rebahan akhirnya mengantarkan saya kangen kembali aktif menulis di blog ini. Setelah ngga dapet-dapet ilham untuk kembali menulis tentang apa, karna selepas kuliah jadi monoton sekali hidupnya, well nulis review suka-suka kayanya seru juga nih. Biasanya sih review drama korea ya, cuma beberapa setelah terakhir nonton Hotel Del Luna, belum bisa move on dari dramanya. Akhirnya banting setir di awal 2020 dan memutuskan untuk menulis review film Indonesia yang tayang di iflix. Yaaa...walaupun udah telat banget. Sebenernya cuma mau nulis thread aja di twitter (@estettt), tapi kok pengen nulis panjang yah.

Film pertama di iflix yang saya tonton adalah Dua Garis Biru. Setelah pikir-pikir agak lama untuk mulai nonton film ini, karna saya kira filmnya bakal sedih-sedihan karena ulah goblok dua remaja yang MBA. Males juga liat drama pertengkaran anak dan orang tuanya. 

Eits, ternyata ngga gitu dong ceritanya.

Disutradarai oleh Gina S. Noer yang sudah pernah melahirkan karya besar sebelumnya, seperti Habibi Ainun dan Ayat-Ayat Cinta. Cerita ini diawali dengan cinta monyet dua remaja Dara (Zara JKT48) dan Bima (Angga Aldi Yunanda), pacaran anak SMA  kelas 3 yang akan menghadapi UN yang kebablasan sampai ke ranah intim di atas ranjang. Akhirnya mimpi buruk itupun datang, Dara tidak kunjung datang bulan dan ternyata positif hamil. Inilah titik balik bagi masa depan mereka berdua, dimana keduanya kemudian dipaksa menjadi dewasa. Gina berhasil membawa film ini begitu cantik. Dia kemas pemikiran remaja pada umumnya dalam menghadapi konflik seperti ini dengan opsi "aborsi" tapi gagal karena Dara, walau ragu, ternyata memilih jalan menjadi seoerang ibu diusia 17 tahun. Dan Bima yang kemudian dengan lugu mengatakan bahwa orang tua mereka pada akhirnya akan memaafkan. Bima ikut siap menjadi seorang ayah.

Penggambaran ketidak adilan masyarakat kita akan perempuan juga diangkat dalam film ini. Dimana Dara, siswi terpintar disekolah kemudian diberhentikan dari sekolah sementara Bima tetap bisa lanjut sekolah sampai lulus. Dengan embel-embel "gimana mau jadi ayah yang baik kalau Bima ngga lanjut sekolah?"

Film ini menyadarkan saya bahwa menjadi orang tua bukan hanya tentang menyekolahkan anak hingga pandai, mengingatkan mereka untuk beribadah, dan menyiapkan masa depan saja. Karna dapat dilihat bahwa Bima dengan lingkungan keluarga religius pun akhirnya kebablasan, dan Dara dengan lingkungan keluarga harmonis dan mapan pun akhirnya dengan polosnya kebablasan juga. Perlu kiranya pembahasan mengenai apa yang akan terjadi ketika laki-laki dan perempuan yang belum cukup umur "make out" dan hamil. Bahwa dari sisi personal perempuan, tubuhnya belum siap dan beresiko meninggal. Dan untuk laki-laki, niat dan tekad bulat mencari nafkah sembari sekolah itu ngga mudah, Nak! Berkeluarga ternyata ngga gampang yah.

Sex education mengenai kehamilan juga disisipkan dengan lembut dalam film ini. Ligwina Hananto mampu berakting sebagai dokter kandungan dengan nada yang renyah menerangkan bagaimana beresikonya kehamilan di usia dini kepada Dara dan Bima. Seakan ingin menerangkan secara keseluruhan bagaimana dampak dari kehamilan dini, baik Bima dan Dara harus menanggung kenyataan bahwa komplikasi kehamilan tersebut menyebabkan operasi pengangkatan rahim. Saya merinding sekali saat Bima sebagai seorang suami harus menandatangani surat persetujuan pengangkatan rahim Dara. Serta adegan saling tangis kedua orang tuanya sambil saling menguatkan. 

Pada akhirnya, ending film ini tidak melulu merugikan pihak perempuan. Dara tetap bisa melanjutkan mimpinya untuk bersekolah ke Korea, sedangkan Bima harus mengurus anaknya di Indonesia. Saya pribadi lega bagaimana Dara bisa tetap melanjutkan mimpi.

Penilaian
8/10

9 Februari 2018

Tersihir Rindu SMA bareng Dilan,1990


Assalammualaikum, jangan? - Dilan, Bandung 1990

Setelah kehabisan tiket karena adek-adek SMA beringas nonton di satu bioskop kecil Jember (iya cuma ada satu di kota ini, NSC Jember), ku jadi pesimis bisa nonton film ini. Sibuk kerja kantor dan menjalani hari dengan nyambi dodolan (iya, punya bisnis yang alhamdulillah laris) bikin nonton ada diprioritas sekian dalam agenda harian. Sampai akhirnya, yaudah deh ngiler aja di twitter liat reaksi orang-orang yang ramai gemes sama Iqbal.

tapi pagi itu Tuhan maha baik,

Ajaibnya senin bukan hari yang hectic lagi. Jam kerja kosong, jualan cuma urus sini-situ kelar. Dan menganggurlah saya di jam 12 siang. Berbekal doa dalam hati biar ngga kehabisan tiket (lagi), saya diantar kekasih ke jantung kota Jember untuk beli tiket Dilan 1990. Dan kebagian, walau bukan di posisi kursi favorit. Akhirnya!!!

Kami nonton dengan khitmat, sesekali laki-laki disamping saya bilang "bagus kok, bagus. Tahun 90-an emang gitu". Kujawab dengan angguk-angguk walau ngga bakal keliatan juga.

Film ini sukses menyabet tiga juta lebih penonton dalam 10 hari penayangan perdananya. Platform instagram dan twitter juga ramai membicarakan bagaimana film ini sukses berbekas dihati masing-masing penontonnya. Wah!! bikin penasaran.
Saya jadi teringat beberapa bulan lalu, di tahun 2017 awal pengumuman para cast Dilan 1990 banyak orang yang meragukan akting si Iqbal dan kawan-kawan. Begitu pula saya, yang kecewa mengetahui pemeran adalah Iqbal, yang jauh dari ekspektasi saya ketika membaca novelnya. Dilan itu harusnya, wajah nakal (badboy), selengekan, tinggi semampai, ganteng, manly dan lain-lain. Ya, Dilan menurut imajinasi saya. Padahal, Dilan adalah milik Milea, bukan saya. Sad :(

Eh jangan sedih, sini dengerin lagu ini dulu


Saat trailer Dilan 1990 keluar, adegan-adegan gombalan bikin geli perut. Tapi kemudian mikir "wah si Iqbal kayanya bagus nih.Kalau dia bagus bisa jadi ini debut film pertamanya yang bakal sukses nganter dia di layar lebar", gitu. Berbekal kontoversi diawal pengumuman para cast, ditambah trailer gombal, dan beberapa acungan jempol. Semakin gregetlah hati ini untuk nonton Dilan 1990.

Filmnya BAGUS. Good job semua cast Dilan 1990 yang sudah unjuk gigi

Tahun 1990-an diusung rapi oleh sutradara, Fajar Bustomi. Ketika nonton film ini, suasana 90-an kerasa banget. Telepon, surat cinta, suasana vintage...ah rindu. Saya pun mengalami suasana naksir tapi malu mau ketemu, akhirnya telpon-telponan rumah. Atau kirim-kiriman surat. Pantaslah banyak yang suka film ini, karena selain bikin nostalgia jaman bahula, pembawaan Iqbal (Dilan) dan Vanesha (Milea) itu bikin gemesh ya. Sikap naksir, penasaran, cemburu ala-ala remaja bikin hati mbak-mbak yang sibuk kerja jadi seger lagi. Iya, usia kami ini sudah jarang digombalin dek. Banyakan kerja, ngobrolin bisnis, tanya kabar anak temen, dan lain-lain. Kami lelah dengan rutinitas tanpa habis, maka hadirnya Dilan dan Milea dalam Dilan 1990 bak es buah disiang hari. Adem, bikin senyum-senyum sendiri.

Saya adalah satu dari sekian yang terhibur dengan film ini. Dilan 1990 adalah cinta ala SMA yang sederhana, gombal, dan lugu. Cinta jaman SMA memang begitu, kita tak perlu alasan bertele-tele tentang kecocokan tanggal lahir, kecocokan ekonomi, kelas sosial, dan lain-lain. Cinta kala itu adalah "wah dia cakep, gebet ah". Cinta yang dibawakan manis oleh kedua pemerannya. Selamat Pidi Baiq yang telah memilih Iqbal secara langsung, insting dan riset yang keren.

Film ini bukannya tanpa celah. Saya kurang terbawa suasana dengan soundtrack yang mengiringi film sepanjang waktu. Ntah karena hanya fokus pada alur cerita, atau memang lagu-lagunya tidak singgah ke hati. Dan jangan berharap plot twisted merana dalam kisah cinta ini, karena sungguh ini cuma cerita cinta SMA biasa. Kalaupun ada konflik ya konflik receh, cemburu remaja, atau bertengkar karena hal sepele (bagi saya, dengan kacamata usia 20-sekian). Selebihnya, Dilan 1990 pantas ditonton oleh siapa saja, terutama tante-tante dan mbak-mbak macam saya, yang sudah mulai kekeringan api cinta. Akhirnya, selamat menonton!!

Penilaian 9/10
(iya 9, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan)


  

2 November 2017

Deretan Kasus Pembunuhan dalam Criminal Minds






Korea sukses memproduksi serial berbau detektif. Lagi-lagi stasiun televisi tvn menyuguhkan serial triller dengan berkiblat pada kesuksesan serial di United State berjudul Criminal Minds. Jeff Davis menghibur penonton dengan rating IMDb sebesar 8,1/10 dan berhasil membawa serial ini sampai pada season ke-11. Rupanya dua sutradara korea, Yang Yun-Ho dan Lee Jung-Hyo, berani unjuk gigi untuk menampilkan serial serupa dengan judul yang sama, Criminal Minds. Drama ini berhasil meraih rating 4% selama penayangannya.

Criminal Minds versi korea bercerita tentang Kim Hyun-Joon (Lee Sung Gi), seorang polisi lapangan penjinak bom yang tidak percaya dengan pekerjaan seorang profiler kasus kriminal karena kematian teman dekatnya saat profiler menangani sebuah kasus pengeboman. Naas, Hyun-Joon malah direkrut untuk bekerja sama dengan para profiler. Hyun-Joon kemudian bertemu dengan seorang anggota polisi, yang juga seorang profiler, bernama Ha Sun-Woo (Moon Chae-Woon) yang selalu tergesa-gesa untuk menyelesaikan kasus. Selanjutnya, kasus demi kasus datang menghampiri tim hingga mimpi buruk sang kapten Kang Ki-Hyung (Song Hyung-Joo) terjadi, serial pembunuh berantai yang selama bertahun-tahun tidak terpecahkan akhirnya muncul kembali dan menghantui orang-orang terdekatnya.

Serial ini dikemas cukup apik dalam menampilkan kasus demi kasus dan penyelesaiannya yang masuk akal. Namun, jika kamu penikmat serial asli besutan Jeff Davis, kamu harus siap kecewa dengan pembawaan aktor-aktris dalam serial versi korea ini. Para aktor tidak terlalu lihai menampilkan kecakapan sebagai seorang profiler. Ditambah lagi, musuh bebuyutan disini pada akhir film digambarkan kalah dengan cara yang ternyata sangat sepele. Sutradara yang awalnya menyelesaikan kasus demi kasus dengan soft dari episode satu kemudian terkesan terburu-buru menyelesaikan ending si musuh bebuyutan. 

Terlepas dari kekecewaan saya sebagai pecandu serial asli Criminal Minds, serial versi korea ini layak dijadikan tontonan untuk pemburu film yang sedang kelelahan menghabiskan drama-drama kisah cinta. Selamat menonton!!

Penilaian 7/10


28 Mei 2017

Lupa Bersyukur

Barangkali sering terjadi. Dimana dalam suatu hari dalam seminggu tiba-tiba mood berantakan. Tidak ada senyum dan musik di pagi hari, tidak ada sapa hangat dengan anggota keluarga, dan tidak ada tawa dalam rumah. Kemudian memutuskan menghabiskan hari dalam bilik kamar yang gelap, tanpa melakukan apa-apa. Hanya coba memaknai hampa.

Saya sering melakukan hal diatas, berkali-kali. Bahkan terkadang menjauhkan diri dari keluarga berminggu-minggu. Alasannya klise: sedang sedih, saya tidak bahagia. Sedih tanpa sebab, oh..tidak bisa dikatakan begini juga karna saya toh sudah sering tahu ujung perkaranya. Hanya diri sendiri suka menepis alasan yang satu ini, yakni kurang bersyukur.

Ketidakbahagiaan yang sering menjatuhkan mental ternyata muncul dari diri sendiri. So pathetic. Kurang besyukur menyebabkan diri saya mengutuk hal-hal yang terjadi belakangan ini, tentang terlambat lulus kuliah, tentang pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang kuliah, tentang hidup yang menurut saya begini-begini saja. Tidak bersyukur menyebabkan saya nelangsa menjalani hari sebagai perempuan pekerja. Padahal, di tempat kerja itu saya banyak sekali dibuat tertawa, banyak sekali bertemu orang baru dan mendapat banyak ilmu baru. Tapi saya tidak juga bersyukur sesampainya dirumah. Kalau saya sendiri malu dengan profesi mulia ini, lantas siapa lagi yang akan bangga?

Ketidakbersyukuran ini kemudian mulai mengutuk diri sendiri karna terlambat lulus, menyesali keputusan yang dibuat dengan sadar oleh saya sendiri. Saya mulai kebiasaan buruk membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Dan hal ini semakin membuat sedih.

Tidak bersyukur menjadikan saya pribadi yang mengeluh sepanjang hari. Selalu melongok keatas, lupa daratan. Padahal kalau dipikir-pikir, berapa banyak orang yang berdoa agar diberi posisi seperti yang sudah saya pijak hari ini. Berapa banyak orang yang menangis ingin melanjutkan kuliah lagi. Dan berapa orang yang harus kerja lembur untuk mendapat uang yang tak seberapa. Jadi, sampai kapan akan terus bertengkar dengan diri sendiri?

27 Mei 2017

Tunnel: Detektif Penjelajah Waktu



Setelah berlarut-larut lelah menonton drama dengan alur cerita detektif, saya kembali menonton drama keluaran bulan Maret 2017 ini. Di produseri oleh Shin Yong-Whee dan Nam Ki-Hoon, yang beberapa waktu lalu sempat dituding bahwa drama besutannya menjiplak drama sebelumnya berjudul "Signal" yang kebetulan bertema sama. Drama yang dibintangi deretan aktor ternama seperti Choi Jin-Hyuk, Yoon Hyun-Min, dan Lee Yoo-Young terdiri dari 16 episode. Tunnel mampu meraih rating 8,6/10 di IMDb. Rating yang cukup tinggi ini kembali mengusung tema time slip atau perjalanan waktu yang sedang marak menjadi tema drama belakangan ini. 

Seperti yang sudah saya tuliskan diatas, drama ini berlatar sebuah kota di Korea Selatan pada tahun 1980-an yang sedang dilanda ketakutan akibat pembunuhan berantai yang menyerang wanita muda memakai rok. Park Kwang-Ho, detektif cekatan dan cerdas yang bertugas di kantor polisi Hwayang dikenal gigih menangkap orang-orang jahat. Hingga suatu hari Park Kwang-Ho tanpa sengaja bertemu dengan si pembunuh dan harus melakukan pengejaran sendirian di sebuah terowongan desa. Hingga akhirnya dia keluar terowongan dan mendapati dirinya telah berada di tahun 2017, ya dia terlempar di masa 30 tahun mendatang. Kantor kepolisian Hwayang telah canggih, di setiap meja terdapat komputer, pengidentifikasian korban memakai sampel DNA, dan berkomunikasi tidak sulit lagi berkat adanya smartphone. dengan kondisi serba mengagetkan, detektif Park Kwang-Ho menyesuaikan diri dengan memakai identitas orang lain. Dia tetap bertekat untuk menangkap si pembunuh berantai pada tahun 1980. Dibantu oleh tim barunya di tahun 2017, detektif Park Kwang-Ho dibuat kesal karena harus berurusan dengan partner anti sosial bernama Kim Sun-Jae dan seorang profesor "profiler pembunuh" individualis yang keras kepala bernama Shin Jae-Yi.

Drama ini mengaduk-aduk isi kepala penonton, karena alurnya yang dibuat tak terduga dan bikin penonton terheran-heran. Tontonan yang renyah untuk remaja dan dewasa yang jenuh dengan adegan detektif-detektif yang memburu penjahat sadis. Berbeda dengan drama sebelumnya, Voice, drama ini tidak menampilkan adegan pembunuhan secara vulgar. Tunnel mengedepankan proses pengidentifikasian dalam mencari seorang tersangka dengan cara yang renyah dan mudah diikuti. Akting yang begitu meyakinkan diantara tiga tokoh kunci dalam drama ini patut diacungi jempol. Akting ketiga aktor kunci dalam drama ini berhasil membawakan karakter penokohan dari drama, sehingga sepanjang drama hampir tidak dijumpai adegan awkward gagal akting dari para aktornya. Sayangnya di sutradara seperti kelupaan dalam pembuatan drama ini, dimana ada adegan bahwa Park Kwang-Ho tanpa sengaja dapat kembali ke masa lalu dan ternyata dia telah memakan waktu 5 bulan menghilang. Dan ketika pada esok harinya dia tanpa sengaja pula kembali ke masa depan, ternyata dia hanya menghilang beberapa hari saja. Satu lagi adegan janggal dalam film ini, yakni ketika profesor Jae Yi datang ke TKP pembunuhan di tempat peristirahatan disebuah gunung yang terisolasi akibat badai dan jembatan satu-satunya tidak dapat dilalui. Dia berhasil menerobos tanpa ada kotoran sedikitpun di baju dan sepatunya, padahal dia berjalan kaki.

Terlepas dari pro-kontra pejiplakan oleh produsen, saya disini belum dapat memberikan pedapat karena belum menonton drama Signal (postingan ini akan di update secepatnya, saat saya telah menonton keseluruhan Signal). Tunnel pantas dijadikan tontonan untuk siapa saja yang merindukan film-film seperti Criminals Mind dan Detektif Conan yang menyuguhkan kelihaian analisis pelaku kejahatan. Tunnel mengingatkan kita tentang bagaimana obsesi menemukan tujuan, menepati janji untuk menangkap pelaku kejahatan untuk menghormati para korban, dan bagaimana beratnya seorang laki-laki menjadi seorang ayah dan suami di dua tempat yang berbeda.

Penilaian 9/10
© SEPATAH KATA
Maira Gall