2 Juni 2013

Besok UAS, well...

Saya jadi kepikiran, apa sih yang saya kejar ?
Oiya nilai A, tentu saja.
Lalu saya dapat apa ?
Oh.. lulus tepat waktu
Lalu apa lagi ?
Ehm, katanya sih cepat dapat kerja
Lalu ?

Sesuatu dalam diri saya berdiskusi diluar kendali. Sedikit cerita tentang masa kecil saya, dimana saya dididik dengan jargon: kamu dapat hadiah(apa saja), asal juara kelas. Dan saya pun belajar demi predikat rangking 1 untuk sebuah boneka, mainan, dan tas (saat saya beranjak SMP). Kebiasaan ini terbawa sampai saya duduk di bangku sekolah dengan mengenakan seragam putih abu -abu.

Saya mati - matian belajar. Di zaman SD, saya bela - belain tidak menonton televisi sejak seminggu sebelum ujian. Saya ingat, saat kelas 4 SD peringkat saya turun di kursi 4, saya pulang dengan mata sembab. Di zaman SMP pun saya bergerilya belajar demi sebuah handphone dan popularitas 'sepuluh besar pararel'. SMA ?? Saya banyak menghabiskan tisu sambil mengutuk diri sendiri bodoh. Saat pengumuman hasil tes, saya duduk di urutan 114 dan dari arah belakang ada desas - desus kalau kuota hanya sebatas 112. Hasilnya ? saya mengurung diri di kamar, dengan mata sembab, tak mau makan dan mama saya yang kebingungan menelepon tante untuk membujuk saya. Saya baru keluar kamar saat tau kalau saya lolos masuk. 

Ceritanya berlanjut, saya memasuki SMA favorit. Dengan anak - anak yang beringas nilai di kelas saya waktu itu. Jatuhlah saya di peringkat hampir terakhir dan bonusnya...saya minder. Memasuki tahun kedua saya menerima tekanan mental karena nilai eksak yang press dan satu mata pelajaran yang jatuh, masuklah saya ke kelas IPS. Perkara masuk kelas IPS harus menghadapi keluarga yang kekeuh kalau 'masuk IPA itu lebih terjamin'. Di situlah saya, di dalam kamar, lupa makan, dan menatap kosong dengan mata sembab yang merasa gagal. Tapi pada akhirnya saya bisa membawa pulang amplop berisi uang, hadiah dari sekolah pada pengumuman peringkat.

Ya, saya jadi sosok ambisius saat itu. Awalnya bangga, senang dan 'wah' lalu lama - kelamaan...hambar. Apa sih yang saya kejar ? predikat pintar ? popularitas ? Lalu saya mulai meluweskan target. Bagaimana mungkin rasa tertekan setiap mau pengumuman nilai itu dianggap prestasi membanggakan ? Asal tau saja, saya selalu tertekan dengan sangat saat akan melihat hasil belajar. Akhirnya saya mulai nego dengan diri sendiri, menghalalkan nilai - nilai miring, melatih diri lebih selow, mengurangi sifat ambisius. Toh panutan saya, mama, sudah tidak menodong prestasi semenjak saya SMA. Mama malah bilang "kamu sudah kuliah, kenapa masih stress nilai?"

Saya tidak menyalahkan sistem pendidikan yang diterapkan orang tua saya, toh karena mereka saya jadi bisa masuk sekolah tanpa tes dan dapat bonus sekolah gratis. Waktu itu saya hanya anak kecil, yang terlalu serius menanggapi jargon dan menjadikan jargon itu sebuah landasan pendidikan saya. Sekarang saya tau kalau prestasi, nilai dan lain - lainnya itu bagus tapi jangan dijadikan beban aja sih biar gak gila.




Saya sedang berproses menikmati pemandangan hidup, yang katanya indah 
:)

2 komentar

© SEPATAH KATA
Maira Gall